Rabu, 29 Mei 2013

Majelis Tarjih Muhammadiyah


   MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH



Disusun oleh :
Abdul Muis
(11470019)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
2011

BAB I
PENDAHULUAN

                Muhammadiyah adalah organisasi masyarakat yang sampai ini masih eksis di antara kita dan masyarakat. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari muhammadiyah, entah itu dari tata nilai sejarah atau perkembangannya di indonesia, yang mana berdirinya organisasi ini dipelopori oleh KH. Achmad Dahlan yang mana berdomisili di jogjakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M.
            Gerakan ini diberi nama oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafa’ul (berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangannya dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam semata-mata demi terwujudnya ‘izzul islam wal muslimin, kejayaan islam sebagai realita dan kemuliaan hidup umat islam sebagai realita.
            Satu hal yang menjadi permasalahan pokok dalam benak kita sebagai seorang muslim, bagaimana kita mengetahui suatu hukum dapat ditentukan? karena yang kita bahas disini adalah Muhammadiyah, maka kita akan membahas bagaimana muhammadiyah menentukan suatu hukum dengan cara dan metode ijtihadnya, agar kita mengetahui langkah-langkah yang diambil dalam penetapan hukum tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

1.PENJELASAN MAJLIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya.
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai     Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah“ adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks, dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan Qoul ulama mengenainya.       “Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama Ijtihad“.
Oleh karenanya, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.

2.SEJARAH BERDIRINYA TARJIH
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majlis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqih. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M. melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah.


3.METODE MAJELIS TARJIH
           
Dalam Muhammadiyah metode yang digunakan adalah majlis tarjih atau lebih lengkapnya disebut dengan Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MT-PPI) Muhammadiyah, MT-PPI Muhammadiyah dipercaya oleh Muhammadiyah untuk melakukan kajian terhadap masalah-masalah sosial keagamaan yang berkembang di Masyarakat.    
            Manhaj yang dikembangkan dalam MT-PPI yaitu manhaj yang bersifat relatifitas, pedoman MT-PPI secara umum  dapat dikelompokkan menjadi dua: manhaj ijtihad hukum dan manhaj pengembangan pemikiran islam.
Metode tarjih terhadap nash yang dilakukan oleh MT-PPI dengan memperhatikan beberapa segi:
1.      Sanad ; tarjih terhadap sanad dilakukan dengan memperhatikan:
a.       Kualitas dan kuantitas rawi
b.      Bentuk dan sifat periwayatan
c.       Sighat penerimaan dan pemberian hadits (kayfiyyat al-tahammul wa al-ada’)
2.      Matan; tarjih terhadap matan dilakukan dengan memperhatikan:
a.       Matan yang menggunakan sighat cegahan (al-nahy) lebih diutamakan dari pada matan yang menggunakan sighat perintah (al-amr)
b.      Matan yang menggunakan sighat khusus (al-khasb)lebih diutamakan atas matan yang digunakan sighat umum (al-‘amm)
3.      Materi hukum
4.      Eksternal

Prinsip-prinsip pengembangan pemikiran islam MT-PPI adalah:
a.       Konservasi (turats, al-muhafadzhat)
b.      Inovasi (al-tahdist)
c.       Kreasi  (ibtikari)

Kerangka metodologi pemikiran islam adalah dengan menggunakan pendekatan bayani dan burhani.
A. Pendekatan bayani adalah pendekatan untuk memahami dan menganalisi teks guna mendapatkan makna yang dikandungnya dengan menggunakan empat macam bayan:
1.      Bayan al-i’tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan sesuatu yang melliputi al-qiyas al-bayani dan al-khabar yang bresifat yaqin atau tashdiq.
2.      Bayan al-i’tiqad, yaitu penjelasan mengenai keadaan sesuatu yang meliputi makna haqq, mutasyabbih, dan bathil.
3.      Bayan al-‘ibarot, yaitu penjelasan mengenai keadaan sesuatu yang meliputi bayan zhahir dan bayan bathin.
4.      Bayan al-kitab, yaitu media unutk menukil pendapat-pendapat, yaitu kitab-kitab.

B. Pendekatan burhani adalah pendekatan rasional argumentatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada kekuatan rasio melalui instrumen logika dan metode diskurif (bathiniy), dan pendekatan irfani adalah pemahaman yang tertumpu pada pengalaman bathin, al-zawq, qalb, wijdan, bashirot, dan intuisi.
Ada juga beberapa pokok manhaj majlis tarjih yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan selain diatas antara lain:
1.      Dalam memutuskan suatu dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam berijtihad digunakan sistem ijtihad jama’iy. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis tidak dapat dipandang sebagai anggota majlis.
2.      Tidak mengikat diri sebagai madzhab, tetapi pendapat imam madzhab dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, selama sesuai dengan jiwa Al-qur’an dan As-sunnah.
3.      Berprinsip toleran dan terbuka, dan tidak beranggapan hanya keputusan Majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil berdasarkan pada dalil-dalil yang dipandang paling kuat saat keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang mendasari dengan dalil yang lebih kuat sehingga memungkinkan Majlis Tarjih Mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
4.      Di dalam masalah ‘Aqidah (Tauhid), hanya digunakan dalil-dalil yang mutawatir saja.
5.      Tidak menolak suatu ijma’ Sahabat, sebagai suatu dasar keputusan.
6.      Menta’lil dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-qur’an dan As-sunnah sepanjang sesuai dengan tujuan syari’ah.
7.      Penggunaan dalil-dalil untuk menetapakan suatu hukum dilakukan dengan cara komperhensip, utuh dan bulat, tidak terpisah.
8.      Dalil-dalil umu dalam Al-qur’an bisa ditakhsis dengan Hadits Ahad, kecuali dalam bidang Aqidah.
9.      Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al-qur’an dan As-sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, meskipun diakui akal bersifat relatif, sehingga prinsip mendahulukan nash dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan dan situasi.
10.  Dalam hal-hal yang termasuk Al-umurud Duniawiyah yang tidak termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat diperlukan demi untuk tercapainya kemaslakhatan umat.
11.  Dalam memahami nash, maka dzahir didahulukan dari pada ta’wil dalam bidamg Aqidah dan ta’wil sahabat pada hal ini tidak harus diterima.
12.  Jalan ijtihad yang telah ditempuh meliputi:
a.       Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik belum jelas makna lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz tersebut mempunyai makna ganda, mengndung arti musytarak, ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang mutasyabbih, ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan ta’arudh. Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan cara tarjih.
b.      Ijtihad Qiyasy, yaitu nmenyeberangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illah.
c.       Ijtihad Istislakhiy, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki sama sekali nash secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah demikian  penetapan hukum dilakukan berdasarkan ‘illah untuk kemaslakhatan.

Dalam menggunakan Hadits, ada beberapa kaidah yang telah menjadi keputusan Majlis Tarjih yaitu sebagai berikut:
a. Hadits mauquf tidak dapat dijadikan Hujjah. Yang dimaksud dengan Hadits mauquf adalah apa yang telah disandarkan kepada sahabat baik ucapan maupun perbuatan atau semacamnya, baiak bersambung atau tidak.
b. Hadits mauquf yang dihukum marfu’ dapat dijadikan hujjah. Hadits mauquf dihukum marfu’ apabila ada qorinah yang dapat dipahami daripadanya bahwa hadits itu marfu’.
c. Hadits mursal sahabat dapat dijadikan hujjah apabila ada qorinah yang menunjukkan persambungan sanadnya.
d. Hadits mursal tabi’i semata, tidak dapat dijadikan hujjah. Hadits ini dapat dijadikan hujjah jika ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanad samapai kepada Nabi.
e. Hadits-hadits dhaif yang kuat menguatkan, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak jalan periwayatannya, ada qarinah yang dijadikan hujjah dan tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadits sahih.
f.Dalam menilai perawi hadits jarh  didahulukan dari pada ta’dil setelah adanya keterangan yang mu’tabar berdasarkan alasan syara’.
g. Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima riwayatnya, jika ada petunjuk bahwa hadits itu mustahil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadialan.


BAB III
PENUTUP
           
Muhammadiyah mempercayai Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dalam menetapkan suatu hukum yang lalu djalankan dan dianut oleh para pengikutnya, kesimpulannya muhammadiyah bersifat terbuka dan toleran, tidak menilai bahwa keputusannya lah yang paling benar, bila ada pendapat dari siapapun akan diterima sepanjang memiliki landasan yang lebih kuat dan arjah, maka pendapat yang telah ditetapkan oleh majlis kemungkinan akan berubah.
            Itulah salah satu kesimpulan yang bisa kita ambil, adapun kesimpulan-kesimpulan yang lain bisa kita temui kala kita mempelajari bagaimana Majlis Tarjih Muhammadiyah bisa dapat menetapkan hukum lebih dalam. Yang dipandang secara global maupun khusus, sehingga kita tahu dan mengerti apa dan bagaimana tindak kita kala menemui kebingungan dalam mengetahui suatu hukum dan menjalankannya.

DAFTAR PUSTAKA
Mubarok, Jaih. “METODOLOGI IJTIHAD HUKUM ISKAM”. Yogyakarta. UII Press 2002
      Pasha, B.Ed, Kamal, Drs. H. Musthafa dan, darban, SU, Adaby, Drs. H. Ahmad. “MUHAMMADIYAH sebagai GERAKAN ISLAM dalam prespektif Historis dan Ideologis”.  Yogyakarta. LPPI Universitas MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA cetakan III 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar