MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Disusun
oleh :
Abdul Muis
(11470019)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN
KEPENDIDIKAN ISLAM
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Muhammadiyah adalah
organisasi masyarakat yang sampai ini masih eksis di antara kita dan
masyarakat. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari muhammadiyah, entah itu
dari tata nilai sejarah atau perkembangannya di indonesia, yang mana berdirinya
organisasi ini dipelopori oleh KH. Achmad Dahlan yang mana berdomisili di
jogjakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912
M.
Gerakan ini diberi nama oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafa’ul (berpengharapan
baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangannya dalam rangka
menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam semata-mata demi terwujudnya ‘izzul
islam wal muslimin, kejayaan islam sebagai realita dan kemuliaan hidup umat
islam sebagai realita.
Satu hal yang menjadi permasalahan pokok dalam benak kita sebagai seorang
muslim, bagaimana kita mengetahui suatu hukum dapat ditentukan? karena yang
kita bahas disini adalah Muhammadiyah, maka kita akan membahas bagaimana
muhammadiyah menentukan suatu hukum dengan cara dan metode ijtihadnya, agar
kita mengetahui langkah-langkah yang diambil dalam penetapan hukum tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.PENJELASAN
MAJLIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu
yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang
dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil )
yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang
lainnya.
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat
uraian singkat mengenai “Matan
Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah“ adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan
kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan
namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam
Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari,
karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak
dan kompleks, dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah
Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran
yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi : usaha-usaha
mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau
belum pernah ada diriwayatkan Qoul ulama mengenainya. “Usaha-usaha tersebut dalam kalangan
ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama Ijtihad“.
Oleh karenanya, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas
seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa
pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini
pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika
di bandingkan dengan tugas yang ada.
2.SEJARAH BERDIRINYA TARJIH
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini,
tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majlis
Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh
Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan
ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga,
selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya
perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang
berhubungan dengan fiqih. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut,
serta menghindari adanya peperpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para
pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas
dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M. melalui keputusan konggres ke 16 di
Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih
Muhammdiyah.
3.METODE MAJELIS TARJIH
Dalam Muhammadiyah metode yang digunakan adalah majlis
tarjih atau lebih lengkapnya disebut dengan Majlis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam (MT-PPI) Muhammadiyah, MT-PPI Muhammadiyah dipercaya oleh
Muhammadiyah untuk melakukan kajian terhadap masalah-masalah sosial keagamaan
yang berkembang di Masyarakat.
Manhaj yang dikembangkan dalam MT-PPI yaitu manhaj yang bersifat relatifitas, pedoman
MT-PPI secara umum dapat dikelompokkan
menjadi dua: manhaj ijtihad hukum dan manhaj pengembangan pemikiran islam.
Metode tarjih terhadap nash yang dilakukan oleh MT-PPI
dengan memperhatikan beberapa segi:
1.
Sanad ; tarjih terhadap sanad
dilakukan dengan memperhatikan:
a.
Kualitas dan kuantitas rawi
b. Bentuk dan sifat periwayatan
c.
Sighat penerimaan dan pemberian
hadits (kayfiyyat al-tahammul wa al-ada’)
2.
Matan; tarjih terhadap matan
dilakukan dengan memperhatikan:
a.
Matan yang menggunakan sighat
cegahan (al-nahy) lebih diutamakan dari pada matan yang menggunakan sighat
perintah (al-amr)
b. Matan yang menggunakan sighat khusus
(al-khasb)lebih diutamakan atas matan yang digunakan sighat umum (al-‘amm)
3.
Materi hukum
4.
Eksternal
Prinsip-prinsip
pengembangan pemikiran islam MT-PPI adalah:
a.
Konservasi (turats,
al-muhafadzhat)
b.
Inovasi (al-tahdist)
c.
Kreasi (ibtikari)
A. Pendekatan bayani adalah pendekatan untuk memahami dan
menganalisi teks guna mendapatkan makna yang dikandungnya dengan menggunakan
empat macam bayan:
1.
Bayan al-i’tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan
sesuatu yang melliputi al-qiyas al-bayani dan al-khabar yang
bresifat yaqin atau tashdiq.
2.
Bayan al-i’tiqad, yaitu penjelasan mengenai keadaan
sesuatu yang meliputi makna haqq, mutasyabbih, dan bathil.
3.
Bayan al-‘ibarot, yaitu penjelasan mengenai keadaan
sesuatu yang meliputi bayan zhahir dan bayan bathin.
4.
Bayan al-kitab, yaitu media unutk menukil
pendapat-pendapat, yaitu kitab-kitab.
B. Pendekatan burhani adalah pendekatan rasional
argumentatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada kekuatan rasio melalui
instrumen logika dan metode diskurif (bathiniy), dan pendekatan irfani adalah
pemahaman yang tertumpu pada pengalaman bathin, al-zawq, qalb, wijdan,
bashirot, dan intuisi.
Ada juga beberapa pokok manhaj majlis tarjih yang telah
dilakukan dalam menetapkan keputusan selain diatas antara lain:
1.
Dalam memutuskan suatu dilakukan
dengan cara musyawarah. Dalam berijtihad digunakan sistem ijtihad jama’iy.
Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis tidak dapat dipandang
sebagai anggota majlis.
2.
Tidak mengikat diri sebagai madzhab,
tetapi pendapat imam madzhab dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
menetapkan hukum, selama sesuai dengan jiwa Al-qur’an dan As-sunnah.
3.
Berprinsip toleran dan terbuka, dan
tidak beranggapan hanya keputusan Majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan
diambil berdasarkan pada dalil-dalil yang dipandang paling kuat saat keputusan
diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang mendasari dengan
dalil yang lebih kuat sehingga memungkinkan Majlis Tarjih Mengubah keputusan
yang pernah ditetapkan.
4.
Di dalam masalah ‘Aqidah (Tauhid),
hanya digunakan dalil-dalil yang mutawatir saja.
5.
Tidak menolak suatu ijma’ Sahabat,
sebagai suatu dasar keputusan.
6.
Menta’lil dapat digunakan untuk
memahami kandungan dalil-dalil Al-qur’an dan As-sunnah sepanjang sesuai dengan
tujuan syari’ah.
7.
Penggunaan dalil-dalil untuk
menetapakan suatu hukum dilakukan dengan cara komperhensip, utuh dan bulat,
tidak terpisah.
8.
Dalil-dalil umu dalam Al-qur’an bisa
ditakhsis dengan Hadits Ahad, kecuali dalam bidang Aqidah.
9.
Dalam bidang ibadah yang diperoleh
ketentuan-ketentuannya dari Al-qur’an dan As-sunnah, pemahamannya dapat
menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, meskipun diakui
akal bersifat relatif, sehingga prinsip mendahulukan nash dari pada akal
memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan dan situasi.
10.
Dalam hal-hal yang termasuk Al-umurud
Duniawiyah yang tidak termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat diperlukan
demi untuk tercapainya kemaslakhatan umat.
11.
Dalam memahami nash, maka dzahir
didahulukan dari pada ta’wil dalam bidamg Aqidah dan ta’wil sahabat pada hal
ini tidak harus diterima.
12.
Jalan ijtihad yang telah ditempuh
meliputi:
a.
Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang
mujmal, baik belum jelas makna lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz
tersebut mempunyai makna ganda, mengndung arti musytarak, ataupun karena
pengertian lafadz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang mutasyabbih,
ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan ta’arudh. Dalam hal yang
terakhir digunakan jalan ijtihad dengan cara tarjih.
b. Ijtihad Qiyasy, yaitu nmenyeberangkan hukum yang telah
ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash,
karena adanya kesamaan ‘illah.
c.
Ijtihad Istislakhiy, yaitu ijtihad terhadap masalah yang
tidak ditunjuki sama sekali nash secara khusus, maupun tidak adanya nash
mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah demikian penetapan
hukum dilakukan berdasarkan ‘illah untuk kemaslakhatan.
Dalam menggunakan Hadits, ada beberapa kaidah yang telah
menjadi keputusan Majlis Tarjih yaitu sebagai berikut:
a. Hadits mauquf tidak dapat dijadikan Hujjah. Yang dimaksud
dengan Hadits mauquf adalah apa yang telah disandarkan kepada sahabat baik
ucapan maupun perbuatan atau semacamnya, baiak bersambung atau tidak.
b. Hadits mauquf yang dihukum marfu’ dapat dijadikan hujjah.
Hadits mauquf dihukum marfu’ apabila ada qorinah yang dapat dipahami
daripadanya bahwa hadits itu marfu’.
c. Hadits mursal sahabat dapat dijadikan hujjah apabila ada
qorinah yang menunjukkan persambungan sanadnya.
d. Hadits mursal tabi’i semata, tidak dapat dijadikan hujjah.
Hadits ini dapat dijadikan hujjah jika ada qarinah yang menunjukkan
persambungan sanad samapai kepada Nabi.
e. Hadits-hadits dhaif yang kuat menguatkan, tidak dapat
dijadikan hujjah, kecuali jika banyak jalan periwayatannya, ada qarinah yang
dijadikan hujjah dan tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadits sahih.
f.Dalam
menilai perawi hadits jarh didahulukan dari pada ta’dil setelah
adanya keterangan yang mu’tabar berdasarkan alasan syara’.
g. Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat
diterima riwayatnya, jika ada petunjuk bahwa hadits itu mustahil, sedangkan
tadlis tidak mengurangi keadialan.
BAB III
PENUTUP
Muhammadiyah mempercayai Majlis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam dalam menetapkan suatu hukum yang lalu djalankan dan dianut
oleh para pengikutnya, kesimpulannya muhammadiyah bersifat terbuka dan toleran,
tidak menilai bahwa keputusannya lah yang paling benar, bila ada pendapat dari
siapapun akan diterima sepanjang memiliki landasan yang lebih kuat dan arjah,
maka pendapat yang telah ditetapkan oleh majlis kemungkinan akan berubah.
Itulah salah satu kesimpulan yang bisa kita ambil, adapun kesimpulan-kesimpulan
yang lain bisa kita temui kala kita mempelajari bagaimana Majlis Tarjih
Muhammadiyah bisa dapat menetapkan hukum lebih dalam. Yang dipandang secara
global maupun khusus, sehingga kita tahu dan mengerti apa dan bagaimana tindak
kita kala menemui kebingungan dalam mengetahui suatu hukum dan menjalankannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mubarok, Jaih. “METODOLOGI
IJTIHAD HUKUM ISKAM”. Yogyakarta. UII Press 2002
Pasha, B.Ed, Kamal, Drs. H. Musthafa dan,
darban, SU, Adaby, Drs. H. Ahmad. “MUHAMMADIYAH sebagai GERAKAN ISLAM dalam
prespektif Historis dan Ideologis”. Yogyakarta. LPPI Universitas
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA cetakan III 2003