PENDIDIKAN ISLAM
DALAM PANDANGAN IKHWAN AL-SAFA
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Mangun Budiyanto, M.Si
Disusun oleh:
Abdul Muis
11470019
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat
berjasa dalam pengembangan atau pembaharuan pemikiran pendidikan Islam,
khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun,
Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu
organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para
filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan
al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi
ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh
persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman
seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah
berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu
pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”.
Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka
memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam
merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh
orang-orang yang terpercaya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah terbentuknya Ikhwan al-Safa?
2. Apa
saja karya Ikhwan al-Safa?
3. Bagaimana
konsep pendidikan Ikhwan al-Safa?
4. Bagaimana
implikasi pemikiran pendidikan Ikhwan al-Safa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Terbentuknya Ikhwan al-Safa
Ikhwan
al-Safa berarti persaudaraan yang suci dan bersih, adalah nama sekelompok pemikir
Islam (filosof religius) yang bergerak
secara rahasia yang berasal dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir
ditengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H (10 M) di Bashrah (Iraq), pada masa pemerintahan
al-Mansur, khalifah kedua pemerintahan Bani Abbas. Dari Bashrah, Ikhwan al-Safa
terus menyebar dan berkembang ke berbagai daerah seperti Iran dan Kuwait.
Kerahasiaan kelompok ini, yang juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa’, Ahl al-Adl, dan
Abna’ al-Hamd, karena tendensi politik dan baru terungkap setelah
berkuasanya Dinasti Buwaihi di Bagdad pada tahun 983 M. Kerahasiaan organisasi
ini dipengaruhi oleh paham taqiyah,
karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat mayoritas Sunni dan mereka
mendukung faham Mu’tazilah yang telah dihapus oleh khalifah Abbasiyah,
Al-Mutawakkil, sebagai mazhab Negara. Nama Ikhwan al-Safa diekspresikan dari
kisah merpati dalam cerita Kaliilah wa
Dumnah yang diterjemahkan oleh Ibn Muqaffa.
Ada lima
nama yang dianggap sebagai tokoh utama dari kelompok ini, yaitu 1) Abu Sulaiman
Muhammad ibn Mu’syir al-Busty (terkenal dengan nama al-Maqdisi), yang bertugas
menulis dan merangkum semua pandangan kelompok ini; 2) Abu al-Hasan Ali ibn
Harun al-Zanjany; 3) Abu Ahmad al-Mihranjany; 4) Al-Aufy; dan 5) Zaid ibn
Rafi’ah, selaku pemimpin kelompok ini.
Dalam upaya
memperluas gerakan, Ikhwan al-Safa mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota
tertentu unutk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat
kepada keilmua dan kebenaran, terutama dari orang-orang muda yang masih segar
dan cukup berhasrat agar mudah dibentuk. Walaupun demikian militansi anggota
dan kerahasiaan organisasi tetap mereka jaga. Calon-calon anggota perhimpunan
ini dituntut keras untuk berpegang teguh satu sama lain dalam menghadapi segala
bahaya dan kesukaran, untuk membantu dan menopang satu sama lain baik dalam
perkara-perkara duniawi maupun rohani, dan untuk menjaga diri agar tidak
bersahabat dengan persaudaraan yang tercela. Karena itu, ada empat tingkatan
anggota, yaitu: [1]
Tingkat I, terdiri dari pemula cekatan
berusia 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka
ini berstatus murid, maka wajib patuh dan tunduk secara sempurna kepada guru.
Tingkat II, adalah al-Ikhwan al-Akhyar berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka
sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih saying, dan siap berkorban
demi persaudaraan.
Tingkat III, adalah al-Ikhwan al-Fudhala al-Kiram berusia 40-50 tahun. Merupakan
tingkat dewasa. Mereka sudah mengetahui namus
al-ilahi sebagai tingkat para nabi.
Tingkat IV, adalah tingkat tertinggi setelah
seseorang mencapai usia 50 tahun ke atas. Mereka pada tingkat ini sudah mampu
memahami hakikat sesuatu, seperti halnya malaikat al-Muqarrabun, sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas,
syari’at, dan wahyu.
B.
Karya
Ikhwan al-Safa
Ikhwan
al-Shafa banyak menulis buku, dan satu di antaranya adalah buku yang terdiri dari
berbagai macam risalah, yang diberi nama “Rasa’il Ikhwan al-Shafa wa Kullan
al-Wafa”. Buku yang kemudian dikenal dengan Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa
tersebut terdiri dari 51 risalah yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok
berdasarkan isinya, yaitu:
1) 14 risalah tentang matematika, meliputi:
geometri, astronomi, musik, geografi, teori dan praktek seni, moral, dan
logika.
2) 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam,
meliputi: geneologi, minerologi, botani, hidup dan matinya alam, senang dan
sakitnya alam, keterbatasan manusia dan kemampuan kesadaran.
3) 10
risalah tentang ilmu jiwa, meliputi: metafisika, waktu dan peredaran waktu,
ilmu tabi’at, dan tentang kebangkitan kembali.
4) 14 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, yang
meliputi theologi, hubungan manusia dengan Tuhan, ramalan, entitas spiritual,
tindakan (aksi) perundingan politik, taqdir, ilmu ghaib, dan jimat.[2]
C.
Konsep
Pendidikan Ikhwan al-Safa
1.
Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut
Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan
pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui
hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan
akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui
inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa.
Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari
guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru
mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan
para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.[3]
Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam
pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam
dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal
anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum
dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun
juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki
bekas yang tidak mudah dihilangkan.[4]
Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme).
Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera
berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di
dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.[5]
Ikhwan
al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki
pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara
dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan
tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa
manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa
manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai
menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini
melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah
al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam
re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya
sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap
direproduksi.[6]
Pandangan
Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa
manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk
beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal
”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya akan
dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan.
Ikhwan
al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah),
bukan pemberian tanpa usaha. Untuk mendapatkan ilmu tersebut adalah dengan cara
membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Ilmu yang demikian
didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan
bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana
pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki
potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam
akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup
bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika
jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah
pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam
ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.[7]
Dalam
mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara
ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap
ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah)
semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu
agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah,
terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori,
yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi
tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan
menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan
al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui
pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan
akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal
memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena
ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
2.
Tipe Ideal Guru
Sejalan
dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa ilmu itu harus diusahakan, maka dalam
usaha tersebut memerlukan guru, ustadz dan mu’addib. Nilai seorang guru menurutnya tergantung
kepada caranya dalam menyampaikan ilmu pengetahuan. Untuk ini mereka
mensyaratkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan sikap dan
pandangan politik Ikhwan al-Safa serta sesuai pula dengan tujuan penyiaran
dakwahnya. Keberhasilan seorang pelajar tergantung kepada guru yang cerdas,
baik akhlaknya, lurus tabi’atnya, bersih hatinya, menyukai ilmu, bertugas
mencari kebenaran, dan tidak bersifat fanatisme terhadap sesuatu aliran.
Bagi Ikhwan
al-Safa, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim,
ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan
guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal
aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz,
atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini
selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1.
Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan
dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2. Al-Ru’asa
dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya
kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap
dermawan.
3. Muluk
dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia
40 tahun.
4. Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai
pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan,
menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.[8]
D. Implikasi
Pemikiran Pendidikan Ikhwan al-Safa
Menurut Ikhwan al-Safa, yang
dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak
(jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif
terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain,
upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui)
secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan
demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi
manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[9]
Ikhwan berpendapat bahwa akal
sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini
eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi
penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa. Pandangan
dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran
Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada
posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang
menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui
tiga cara, yaitu:
(1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui
sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya;
(2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian
logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya;
(3) Dengan
perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ikhwan
al-Safa merupakIn organisasi islam militant yang telah berhasil menghimpun
pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, rasail Ikhwan al-Safa.
Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang
ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negative,
Ikhwan al-Safa teleh menjadi bagian kajian Filsafat Pendidikan Islam, Filsafat
Islam, Bahkan Tafsir Al-Quran Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih
banyak lagi yang belum terurai, Wallahu A’lam,
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, 1991, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Farrukh, Omar A. dalam M.M. Syarif
(editor), 2004, Aliran-Aliran
Filsafat Islam, Bandung: Nuansa Cendekia
Hanafi, Ahmad, 1996, Pengantar Filsafat Islam cet-6, Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Hasyimsyah,
1999, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
Nata, Abuddin, 1997, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
Nizar, Samsul, 2002, Filsafat
Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta:
Ciputat Pers
[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), hal. 45-46
[3] Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif
(editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam (Bandung: Nuansa Cendekia, 2004), hal. 185-186
[6] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), hal. 98- 99
[8]
Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.
185
[9] Jawwad
Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar