Selasa, 21 Mei 2013

ikhwan al-safa


PENDIDIKAN ISLAM DALAM PANDANGAN IKHWAN AL-SAFA
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Mangun Budiyanto, M.Si


Disusun oleh:

Abdul Muis
11470019



JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
 YOGYAKARTA
2012/2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan atau pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah terbentuknya Ikhwan al-Safa?
2.      Apa saja karya Ikhwan al-Safa?
3.      Bagaimana konsep pendidikan Ikhwan al-Safa?
4.      Bagaimana implikasi pemikiran pendidikan Ikhwan al-Safa?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Terbentuknya Ikhwan al-Safa
Ikhwan al-Safa berarti persaudaraan yang suci dan bersih, adalah nama sekelompok pemikir Islam (filosof  religius) yang bergerak secara rahasia yang berasal dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir ditengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H (10 M)  di Bashrah (Iraq), pada masa pemerintahan al-Mansur, khalifah kedua pemerintahan Bani Abbas. Dari Bashrah, Ikhwan al-Safa terus menyebar dan berkembang ke berbagai daerah seperti Iran dan Kuwait. Kerahasiaan kelompok ini, yang juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa’, Ahl al-Adl, dan Abna’ al-Hamd, karena tendensi politik dan baru terungkap setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi di Bagdad pada tahun 983 M. Kerahasiaan organisasi ini dipengaruhi oleh paham taqiyah, karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat mayoritas Sunni dan mereka mendukung faham Mu’tazilah yang telah dihapus oleh khalifah Abbasiyah, Al-Mutawakkil, sebagai mazhab Negara. Nama Ikhwan al-Safa diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita Kaliilah wa Dumnah yang diterjemahkan oleh Ibn Muqaffa.
Ada lima nama yang dianggap sebagai tokoh utama dari kelompok ini, yaitu 1) Abu Sulaiman Muhammad ibn Mu’syir al-Busty (terkenal dengan nama al-Maqdisi), yang bertugas menulis dan merangkum semua pandangan kelompok ini; 2) Abu al-Hasan Ali ibn Harun al-Zanjany; 3) Abu Ahmad al-Mihranjany; 4) Al-Aufy; dan 5) Zaid ibn Rafi’ah, selaku pemimpin kelompok ini.
Dalam upaya memperluas gerakan, Ikhwan al-Safa mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota tertentu unutk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat kepada keilmua dan kebenaran, terutama dari orang-orang muda yang masih segar dan cukup berhasrat agar mudah dibentuk. Walaupun demikian militansi anggota dan kerahasiaan organisasi tetap mereka jaga. Calon-calon anggota perhimpunan ini dituntut keras untuk berpegang teguh satu sama lain dalam menghadapi segala bahaya dan kesukaran, untuk membantu dan menopang satu sama lain baik dalam perkara-perkara duniawi maupun rohani, dan untuk menjaga diri agar tidak bersahabat dengan persaudaraan yang tercela. Karena itu, ada empat tingkatan anggota, yaitu: [1]
Tingkat I, terdiri dari pemula cekatan berusia 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka ini berstatus murid, maka wajib patuh dan tunduk secara sempurna kepada guru.
Tingkat II, adalah al-Ikhwan al-Akhyar berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih saying, dan siap berkorban demi persaudaraan.
Tingkat III, adalah al-Ikhwan al-Fudhala al-Kiram berusia 40-50 tahun. Merupakan tingkat dewasa. Mereka sudah mengetahui namus al-ilahi sebagai tingkat para nabi.
Tingkat IV, adalah tingkat tertinggi setelah seseorang mencapai usia 50 tahun ke atas. Mereka pada tingkat ini sudah mampu memahami hakikat sesuatu, seperti halnya malaikat al-Muqarrabun, sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas, syari’at, dan wahyu.

B.                 Karya Ikhwan al-Safa
Ikhwan al-Shafa banyak menulis buku, dan satu di antaranya adalah buku yang terdiri dari berbagai macam risalah, yang diberi nama “Rasa’il Ikhwan al-Shafa wa Kullan al-Wafa”. Buku yang kemudian dikenal dengan Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa tersebut terdiri dari 51 risalah yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan isinya, yaitu:
 1) 14 risalah tentang matematika, meliputi: geometri, astronomi, musik, geografi, teori dan praktek seni, moral, dan logika.
 2) 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi: geneologi, minerologi, botani, hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia dan kemampuan kesadaran.
 3)  10 risalah tentang ilmu jiwa, meliputi: metafisika, waktu dan peredaran waktu, ilmu tabi’at, dan tentang kebangkitan kembali.
4)  14 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, yang meliputi theologi, hubungan manusia dengan Tuhan, ramalan, entitas spiritual, tindakan (aksi) perundingan politik, taqdir, ilmu ghaib, dan jimat.[2]

C.                Konsep Pendidikan Ikhwan al-Safa
1.      Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1)   Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2)   Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3)   Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.[3] Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.

Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan.[4] Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.[5]
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.[6]
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Untuk mendapatkan ilmu tersebut adalah dengan cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.[7]
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.

2.      Tipe Ideal Guru
Sejalan dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa ilmu itu harus diusahakan, maka dalam usaha tersebut memerlukan guru, ustadz dan mu’addib. Nilai seorang guru menurutnya tergantung kepada caranya dalam menyampaikan ilmu pengetahuan. Untuk ini mereka mensyaratkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan sikap dan pandangan politik Ikhwan al-Safa serta sesuai pula dengan tujuan penyiaran dakwahnya. Keberhasilan seorang pelajar tergantung kepada guru yang cerdas, baik akhlaknya, lurus tabi’atnya, bersih hatinya, menyukai ilmu, bertugas mencari kebenaran, dan tidak bersifat fanatisme terhadap sesuatu aliran.
Bagi Ikhwan al-Safa, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1.  Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2.  Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3.  Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4.  Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.[8]

D.    Implikasi Pemikiran Pendidikan Ikhwan al-Safa
Menurut Ikhwan al-Safa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[9]
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa. Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu:
 (1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya;
 (2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya;
 (3)  Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Ikhwan al-Safa merupakIn organisasi islam militant yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, rasail Ikhwan al-Safa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negative, Ikhwan al-Safa teleh menjadi bagian kajian Filsafat Pendidikan Islam, Filsafat Islam, Bahkan Tafsir Al-Quran Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak lagi yang belum terurai, Wallahu A’lam,


DAFTAR PUSTAKA
Arifin, 1991, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Farrukh, Omar A. dalam M.M. Syarif (editor), 2004,  Aliran-Aliran Filsafat Islam, Bandung: Nuansa Cendekia
Hanafi, Ahmad, 1996, Pengantar Filsafat Islam cet-6, Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Hasyimsyah, 1999,  Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
Nata, Abuddin, 1997, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Nizar, Samsul, 2002, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers












[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hal. 45-46

[2]  Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hal. 46
[3] Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam (Bandung: Nuansa Cendekia, 2004), hal. 185-186

[4]  Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 182
[5]  Ibid, hal. 184
[6] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 98- 99
[7] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 182-183

[8] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 185
[9] Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar