Mengubah Paradikma Pendidikan Agama
Pluralisme adalah sebuah fakta sejarah tidak dapat dimungkiri atau
diingkari oleh siapapun. Kemajemukan adalah kehendak Tuhan agar manusia saling
menyapa, mengenal, berkomunikasi dan bersolidaritas. Pada zaman kontemporer
saat ini sulit dicari satu agama yang homogen. Umumnya heterogen dengan tingkat
yang berbeda-beda.
Kemajemukan pada tingkat agama ini masihb ditambah lagi dengankemajemukan
pada wilayah tafsir agama. Tidak mengherankan jika banyak mazhab, sekte, atau
aliran dalam aliran agama apa pun. Semua ini akibat perbedaan kapasitas yang
kemampuan berpikir masing-masing orang, perspektif, ataupun pendekatan.
Pertanyaan ; model pendidikan agama macam apaagar melahirkan
peribadi-pribadi yang toleran, inklusif, humanis, dan meneguhkan spirit
pluralisme dan multikulturalisme? Pendidikan agama yang diidealkan adalah
pendidikan agama yang tidak doktriner sehingga tidak memunculkan klaim-klaim
kemutlakan. Ketika ruang perbedaan dan perubahan dalam agama telah dimatikan
oleh sifat fanatik dan eksklusif, agama jadi anti realitas. Namun, justru
sikap-sikap fanatik dan eksklusif ini dalahirkan oleh pendidikan agama.
Tak hean jika pendidikan agama dikritik anti realitas. Pendidikan agama
dianggap kurang mengakomodasi realitas keberagamaan intera dan antar umat
beragama, serta justru cenderung melahirkan eksklusifisme keberagamaan.
Model
pendidikan agama
Untuk menjawab model pendidikan agama seperti apa yang memungkinkan
melahirkan pribadi dan toleren, penting untuk mempertimbangkan model-model pendidikan
agama yang dikembangkan Jack Seymour (1997) dan Tabita Kartika Chcristiani
(2009). Mereka menjelaskan model-model pendidikan agama dan pengajaran agama
yaitu, in, at, dan beyond the wall.
Pendidikan in the wall berarti hanya mengajarkan agama yang sesuai
agama tersebut tanpa dialog dengan agama lain. Model pendidikan agama seperti
ini berdampak minimnya wawasan peserta didik terhadap agam lain, yang membuka
peluang terjadinya kesalah pahamandan prejuide.
Model pendidikan agama the in wall juga dapat menumbuhkan superioritas
satu agama dengan agama yang lain sehimgga mempertegas garis demarkasi antara
“aku” katamu”, “kita” dan “mereka”.
Sikap toleransi, simpati, dan empati terhadap mereka yang berbeda agama
sulit di tumbuh-kembangkan dari model pendidikan agama seperti ini. Model
pendidikan semacam ini memosisikan agama lain atau penganut agama lain sebagai the
others, “yang lian”, yang akan masuk neraka karena dianggap kafir. Inilah
bentuk truch claim yang berdampak pada monopoli tuhan dan kebenaran.
Seakan-akan kebenaran agama hanya milik individu atau milik kelompok agama
tertentu yang akan menyebabkan pemusuhan diantara agama satu dengan agama yang
lainnya.
Model keberagamaan seperti ini pada gilirannya berkontribusi dalam
menanamkan benih-benih eksklusivisme keberagamaan yang akan memicu konflik dan
kekerasan atas nama agama. Ironisnisnya, model pendidikan agama in the wall
inilah yang kini mendominasi pendidikan agama di Tanah air kita ini.
Paradikma pendidikan agama at the wall tidak hanya mengajarkan agamanya
sendiri, tetapi sudah mendiskusikannya dengan agama yang lain. Tahap ini
merupakan tahap transformasi keyakinandengan belajar mengapresiasai orang lain
yang berbeda agama dan terlibat dalam dialog antaragama.
Sementara pendidikan agama beyond the wall tak sekedar berorientasi untuk
berdiskusidan berdialog denganm orang yang berbeda agama. Namun, lebih dari itu
mengajak peserta didik dari beragam agama untuk bekerja sama menyampaikan
perdamaian, keadilan, harmoni dan perlibatan mereka dalam kerja-kerja
kemanusiaan dari beragam dari beragam agama tersebut. Semua itu gar menunjukan
musuh agama itu bukan pemeluk agama yang berbeda akan tetapi musuh agama yang
sesungguhnya adalah kemiskinan, kebodohan, kapitalisme, kekerasan, radikalisme,
ketidak jujuran, korupsi, manipulasi, kerusakan lingkungan dan seterusnya.
Model pendidikan agama seperti ini juga untuk menunjukan semua agama adalah
mengajarkan kebaikan dan bahwa agama adlah untuk kebaikan manusia sesuai misi
profetiknya, bukan untuk saling bertempur, saling menghancurkan agama yang satu
dewngan agama yang lainnya. Maka pendidikan agama yang saat ini cenderung
eksklusif karena hannya mengajarkan agama sendiri (in the wall) perlu digeser
ke arah inklusif dengan model at dan beyond the wall. Peserta didik tidak
hannya kenal dengan agama lain melainkan bersdentuhan dengan agama lain untuk
melintasi tradisi lain yang kemudian kembali ketradisi sendiri.
Maka yang jadi pertannyaan sekarang bagi kita mungkinkah guru-guru agama
kita mau dan suka rela mengajak peserta didik bekerja sama dengan siswa lain
yang berbeda agama, untuk belajar bersama memerangi musuh utama agama, yaitu
penindasan, kekerasan, kemiskinan, kebodohan, korupsi dan kerusakan lingkungan?
Mari kita belajar bersama.
ABDUL MUIS
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
Jurusan Kependidikan Islam
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
Jurusan Kependidikan Islam
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Great Abdul Muis..
BalasHapusI'm like your creat.. ^^
bisa mempraktekkan ga kira-kira tika..?
Hapus