Senin, 20 Februari 2012


Mengubah Paradikma Pendidikan Agama
Pluralisme adalah sebuah fakta sejarah tidak dapat dimungkiri atau diingkari oleh siapapun. Kemajemukan adalah kehendak Tuhan agar manusia saling menyapa, mengenal, berkomunikasi dan bersolidaritas. Pada zaman kontemporer saat ini sulit dicari satu agama yang homogen. Umumnya heterogen dengan tingkat yang berbeda-beda.
Kemajemukan pada tingkat agama ini masihb ditambah lagi dengankemajemukan pada wilayah tafsir agama. Tidak mengherankan jika banyak mazhab, sekte, atau aliran dalam aliran agama apa pun. Semua ini akibat perbedaan kapasitas yang kemampuan berpikir masing-masing orang, perspektif, ataupun pendekatan.
Pertanyaan ; model pendidikan agama macam apaagar melahirkan peribadi-pribadi yang toleran, inklusif, humanis, dan meneguhkan spirit pluralisme dan multikulturalisme? Pendidikan agama yang diidealkan adalah pendidikan agama yang tidak doktriner sehingga tidak memunculkan klaim-klaim kemutlakan. Ketika ruang perbedaan dan perubahan dalam agama telah dimatikan oleh sifat fanatik dan eksklusif, agama jadi anti realitas. Namun, justru sikap-sikap fanatik dan eksklusif ini dalahirkan oleh pendidikan agama.
Tak hean jika pendidikan agama dikritik anti realitas. Pendidikan agama dianggap kurang mengakomodasi realitas keberagamaan intera dan antar umat beragama, serta justru cenderung melahirkan eksklusifisme keberagamaan.
Model pendidikan agama
Untuk menjawab model pendidikan agama seperti apa yang memungkinkan melahirkan pribadi dan toleren, penting untuk mempertimbangkan model-model pendidikan agama yang dikembangkan Jack Seymour (1997) dan Tabita Kartika Chcristiani (2009). Mereka menjelaskan model-model pendidikan agama dan pengajaran agama yaitu, in, at, dan beyond the wall.
Pendidikan in the wall berarti hanya mengajarkan agama yang sesuai agama tersebut tanpa dialog dengan agama lain. Model pendidikan agama seperti ini berdampak minimnya wawasan peserta didik terhadap agam lain, yang membuka peluang  terjadinya kesalah pahamandan prejuide. Model pendidikan agama the in wall juga dapat menumbuhkan superioritas satu agama dengan agama yang lain sehimgga mempertegas garis demarkasi antara “aku” katamu”, “kita” dan “mereka”.
Sikap toleransi, simpati, dan empati terhadap mereka yang berbeda agama sulit di tumbuh-kembangkan dari model pendidikan agama seperti ini. Model pendidikan semacam ini memosisikan agama lain atau penganut agama lain sebagai the others, “yang lian”, yang akan masuk neraka karena dianggap kafir. Inilah bentuk truch claim yang berdampak pada monopoli tuhan dan kebenaran. Seakan-akan kebenaran agama hanya milik individu atau milik kelompok agama tertentu yang akan menyebabkan pemusuhan diantara agama satu dengan agama yang lainnya.
Model keberagamaan seperti ini pada gilirannya berkontribusi dalam menanamkan benih-benih eksklusivisme keberagamaan yang akan memicu konflik dan kekerasan atas nama agama. Ironisnisnya, model pendidikan agama in the wall inilah yang kini mendominasi pendidikan agama di Tanah air kita ini.
Paradikma pendidikan agama at the wall tidak hanya mengajarkan agamanya sendiri, tetapi sudah mendiskusikannya dengan agama yang lain. Tahap ini merupakan tahap transformasi keyakinandengan belajar mengapresiasai orang lain yang berbeda agama dan terlibat dalam dialog antaragama.
Sementara pendidikan agama beyond the wall tak sekedar berorientasi untuk berdiskusidan berdialog denganm orang yang berbeda agama. Namun, lebih dari itu mengajak peserta didik dari beragam agama untuk bekerja sama menyampaikan perdamaian, keadilan, harmoni dan perlibatan mereka dalam kerja-kerja kemanusiaan dari beragam dari beragam agama tersebut. Semua itu gar menunjukan musuh agama itu bukan pemeluk agama yang berbeda akan tetapi musuh agama yang sesungguhnya adalah kemiskinan, kebodohan, kapitalisme, kekerasan, radikalisme, ketidak jujuran, korupsi, manipulasi, kerusakan lingkungan dan seterusnya.
Model pendidikan agama seperti ini juga untuk menunjukan semua agama adalah mengajarkan kebaikan dan bahwa agama adlah untuk kebaikan manusia sesuai misi profetiknya, bukan untuk saling bertempur, saling menghancurkan agama yang satu dewngan agama yang lainnya. Maka pendidikan agama yang saat ini cenderung eksklusif karena hannya mengajarkan agama sendiri (in the wall) perlu digeser ke arah inklusif dengan model at dan beyond the wall. Peserta didik tidak hannya kenal dengan agama lain melainkan bersdentuhan dengan agama lain untuk melintasi tradisi lain yang kemudian kembali ketradisi sendiri.
Maka yang jadi pertannyaan sekarang bagi kita mungkinkah guru-guru agama kita mau dan suka rela mengajak peserta didik bekerja sama dengan siswa lain yang berbeda agama, untuk belajar bersama memerangi musuh utama agama, yaitu penindasan, kekerasan, kemiskinan, kebodohan, korupsi dan kerusakan lingkungan? Mari kita belajar bersama.
ABDUL MUIS
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
Jurusan Kependidikan Islam
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

2 komentar: